Rabu, Oktober 02, 2013

Demam berdarah di Mesir , karpet masjid untuk Rohingya


Bismillah..

Demam Berdarah, sering disingkat DB. Dua kata dan dua huruf yang menjadi momok mengerikan. Sering didengar, ditakuti, namun tak kunjung henti cerita duka dari frasa ini punah.

Biasanya ketakutan membuat orang berubah, menghindar dan mengambil tindakan. Dan semestinya pula apa yang ditakuti tak kunjung jadi. Anehnya, berpuluh tahun pemerintah mengkampanyekan kewaspadaan akan DB, tapi selama itu pula masih saja jatuh korban karenanya. Iya, oke..mungkin korbannya tak sebanyak dulu, frekuesinya tak setinggi masa lalu. Tapi bukankah nyawa tetaplah nyawa, satu dan seribu hilang tetaplah duka yang mengiringi. Tetap takut membayangi. Apa yang salah dari penanganan DB?

Kebetulan anak saya sudah lebih dari 24 jam ini demam, tentu yang berkecamuk di kepala saya salah satunya adalah kekhawatiran tentang  DB. Padahal, setiap minggu saya kuras kamar mandi, tidak hanya manajemen sampah yang rapi, tempat sampahnyapun rutin dicuci, tak ada barang bekas dan genangan air di rumah ini. Kalau masalah kebersihan, rasanya sudah maksimal. Istri saya mungkin orang paling resik di dunia. Kembali dari warung depan rumah saja, diwajibkannya kita cuci kaki. Apalagi kalau mampir ke rumah sakit, klinik, puskesmas –dengan berbagai tujuan dan keperluan, pasti disuruhnya mandi. “rumah sakit kan rumahnya penyakit, jangan pulang bawa penyakit”, begitu dalilnya..fatwapun berlaku.

Tak hanya di kawasan kumuh, DB memakan korban di mana dan siapa saja, anehnya kapan saja meskipun umumnya terjadi di musim penghujan. Salah satu manajer di tempat saya bekerja saja bisa terkena, kerabat saya yang tinggal di kawasan berada pun baru-baru ini juga menjadi korbannya. Kenapa bisa begitu?

Pagi ini,ketika saya sedang menemani anak saya yang sakit, saya membuka timeline twitter. Di sela-sela keriuhan twitterland, entah tentang aktivitas harian, promosi bisnis, candaan, nasihat dan motivasi..ada kicauan yang membuat saya mengerem scrolling saya. Mesir masih bergejolak! Aksi demonstrasi damai berbalas kekerasan masih terjadi! Masya Allah.. kemana saja saya selama ini? Berdoa sudah, menghujat sudah, posting kultwit sudah, meneruskan pesan broadcast sudah, turun ke jalan dan berdonasipun kami sudah lakukan.. Tapi ternyata itu belum cukup untuk menghentikan ketidakadilan berlangsung. Dan saya merasa andil saya cukup. Astaghfirullah.. inikah yang saya sebut kepedulian? Perlukah saya pusingkan apa yang terjadi nun jauh di sana, sementara anak saya sedang mengigau lirih di samping saya? Bagaimana dengan korban konflik di Rohingya, Palestina dan Syria? Bagaimana kabar korban di Sibanung, kebakaran di Kali Sunter, kapal karam di Cianjur? Di mana entah lagi kedukaan terjadi? Adakah hari ini manusia yang kalah melawan gigitan nyamuk? Dan saya terpaku tak mampu berbuat apapun.
Ketika ketakutan hadir, ketakberdayaan saya rasakan. Saya menemukannya kata kuncinya di keramaian dunia maya. Kepedulian & Kebersamaan.

Penyakit menular (seperti Demam Berdarah), kemungkaran, kezaliman, bencana dan kesalah-aturan akan terus terjadi di sekeliling kita. Selama itu pula yang disebut “korban” akan ada. Kepedulian sekecil apapun tidak hanya membuat yang menderita terbantu, tapi membuat kita yang membantu merasa berarti dan tetap waras di tengah zaman penuh kegilaan. Kepedulian kita bisa jadi adalah tindakan preventif agar kedukaan yang sama tak terjadi pada kita. Menghujat kemungkaran dan mendukung korban ketidakadilan meskipun jauh di benua lain, adalah salah satu cara agar kezaliman serupa kita hadang agar tak memperkosa dan membunuh nurani kita. Ketika nurani telah mati, kelak kita akan tunduk dengan mudahnya ketika angkara menginjak halaman rumah kita.

Ketika got kotor di gang lain, “lapangan sampah bersama” di kampung sebelah, kali kotor, budaya  buang sampah sembarangan kita biarkan saja tanpa dipedulikan, tunggu sampai keluarga kita menjadi korban penyakit yang disebabkannya. Na’udzubillah.
Ketika perjudian dengan dalih olahraga, zina atas nama cinta muda-mudi, perlombaan buka aurat demi nama bangsa di mata dunia, sekularisme bertopeng hak asasi manusia kita abaikan, sudikah menunggu hingga putra-putri kita menjadi korban kerusakan moral masyarakat? Atau kita kelak akan cukup bodoh berkata “ya, mau bagaimana lagi? memang begini keadaannya” . Na’udzubillah –lagi.

Perhatikan shaf di musholla kita, amati berdirinya jemaah kita di masjid. Rapatkah ia, sempurnakah kita mendirikan sholat berjamaah? Tidak. kenapa? Karena prsayarat sempurnanya sholat berjamaah tak kita penuhi : rapat dan lurusnya shaf.

Ironis. Bahkan ketika sholat berjamaah-pun, kita gagal “berjamaah”. Kita tak rapat, karena batas sajadah. 
Kita mengira batas sajadah adalah batas formal berdirinya sholat. Banyak yang tertipu dengan hiasan lantai itu. Mengira agar lebih rapi, setiap orang “harus” berdiri di sejadahnya masing-masing dan diperbolehkan tidak merapatkan barisan sholat. Maka wajarlah shaf kita tak lurus. Wajarlah, di luar masjid, di luar musholla kita hidup nafsi-nafsi, sendiri-sendiri, indivudualistis. Sholat hanya kewajiban ritual, alih-alih dijadikan sumber kearifan spiritual dan wahana menimba hikmah.

Mengira batas negara, kesukuan, provinsi dan perbedaaan batas kampung merupakan fakta sah bagi kita untuk tidak peduli dan tidak perlu merasa bersama. Maka wajar jika demam berdarah masih menghantui, wajar saya hanya bisa merinding khawatir di rumah, mungkin karena kita (saya) tak ambil pusing dengan selokan mampet di ujung jalan.

Solusi berbagai masalah dan ketak-baikan di masyarakat dan dunia kita ini, bisa kita dapatkan jika kita mau memulai untuk peduli. Mari, kita Menguras-Menutup-Mengubur karakter cuek sosial ini.  

Together, we can make it better. RIGHT?


Salam SuksesMulia

Berkenan ngobrol dengan @sulfan di Twitter?
Terimakasih


1 komentar:

  1. Right masbro....weldone.

    Kalau di Bengkalis atau tempat lain yang banyak sarang burung walet, DB menjadi hal yang lumrah, karena di dalam gedung2 sarang walet yg gelap gulita tersebut, terdapat kolam genangan air

    BalasHapus