Bismillah..
Demam Berdarah, sering disingkat
DB. Dua kata dan dua huruf yang menjadi momok mengerikan. Sering didengar,
ditakuti, namun tak kunjung henti cerita duka dari frasa ini punah.
Biasanya ketakutan membuat orang
berubah, menghindar dan mengambil tindakan. Dan semestinya pula apa yang
ditakuti tak kunjung jadi. Anehnya, berpuluh tahun pemerintah mengkampanyekan
kewaspadaan akan DB, tapi selama itu pula masih saja jatuh korban karenanya.
Iya, oke..mungkin korbannya tak sebanyak dulu, frekuesinya tak setinggi masa
lalu. Tapi bukankah nyawa tetaplah nyawa, satu dan seribu hilang tetaplah duka
yang mengiringi. Tetap takut membayangi. Apa yang salah dari penanganan DB?
Kebetulan anak saya sudah lebih
dari 24 jam ini demam, tentu yang berkecamuk di kepala saya salah satunya adalah
kekhawatiran tentang DB. Padahal, setiap
minggu saya kuras kamar mandi, tidak hanya manajemen sampah yang rapi, tempat
sampahnyapun rutin dicuci, tak ada barang bekas dan genangan air di rumah ini. Kalau
masalah kebersihan, rasanya sudah maksimal. Istri saya mungkin orang paling
resik di dunia. Kembali dari warung depan rumah saja, diwajibkannya kita cuci
kaki. Apalagi kalau mampir ke rumah sakit, klinik, puskesmas –dengan berbagai
tujuan dan keperluan, pasti disuruhnya mandi. “rumah sakit kan rumahnya
penyakit, jangan pulang bawa penyakit”, begitu dalilnya..fatwapun berlaku.
Tak hanya di kawasan kumuh, DB
memakan korban di mana dan siapa saja, anehnya kapan saja meskipun umumnya
terjadi di musim penghujan. Salah satu manajer di tempat saya bekerja saja bisa
terkena, kerabat saya yang tinggal di kawasan berada pun baru-baru ini juga
menjadi korbannya. Kenapa bisa begitu?
Pagi ini,ketika saya sedang menemani
anak saya yang sakit, saya membuka timeline
twitter. Di sela-sela keriuhan twitterland, entah tentang aktivitas harian,
promosi bisnis, candaan, nasihat dan motivasi..ada kicauan yang membuat saya
mengerem scrolling saya. Mesir masih bergejolak!
Aksi demonstrasi damai berbalas kekerasan masih terjadi! Masya Allah.. kemana
saja saya selama ini? Berdoa sudah, menghujat sudah, posting kultwit sudah, meneruskan
pesan broadcast sudah, turun ke jalan dan berdonasipun kami sudah lakukan..
Tapi ternyata itu belum cukup untuk menghentikan ketidakadilan berlangsung. Dan
saya merasa andil saya cukup. Astaghfirullah.. inikah yang saya sebut
kepedulian? Perlukah saya pusingkan apa yang terjadi nun jauh di sana,
sementara anak saya sedang mengigau lirih di samping saya? Bagaimana dengan
korban konflik di Rohingya, Palestina dan Syria? Bagaimana kabar korban di Sibanung,
kebakaran di Kali Sunter, kapal karam di Cianjur? Di mana entah lagi kedukaan
terjadi? Adakah hari ini manusia yang kalah melawan gigitan nyamuk? Dan saya
terpaku tak mampu berbuat apapun.
Ketika ketakutan hadir,
ketakberdayaan saya rasakan. Saya menemukannya kata kuncinya di keramaian dunia
maya. Kepedulian & Kebersamaan.
Penyakit menular (seperti Demam Berdarah),
kemungkaran, kezaliman, bencana dan kesalah-aturan akan terus terjadi di
sekeliling kita. Selama itu pula yang disebut “korban” akan ada. Kepedulian sekecil
apapun tidak hanya membuat yang menderita terbantu, tapi membuat kita yang
membantu merasa berarti dan tetap waras di tengah zaman penuh kegilaan.
Kepedulian kita bisa jadi adalah tindakan preventif agar kedukaan yang sama tak
terjadi pada kita. Menghujat kemungkaran dan mendukung korban ketidakadilan
meskipun jauh di benua lain, adalah salah satu cara agar kezaliman serupa kita
hadang agar tak memperkosa dan membunuh nurani kita. Ketika nurani telah mati, kelak
kita akan tunduk dengan mudahnya ketika angkara menginjak halaman rumah kita.
Ketika got kotor di gang lain, “lapangan
sampah bersama” di kampung sebelah, kali kotor, budaya buang sampah sembarangan kita biarkan saja
tanpa dipedulikan, tunggu sampai keluarga kita menjadi korban penyakit yang
disebabkannya. Na’udzubillah.
Ketika perjudian dengan dalih
olahraga, zina atas nama cinta muda-mudi, perlombaan buka aurat demi nama
bangsa di mata dunia, sekularisme bertopeng hak asasi manusia kita abaikan, sudikah
menunggu hingga putra-putri kita menjadi korban kerusakan moral masyarakat?
Atau kita kelak akan cukup bodoh berkata “ya, mau bagaimana lagi? memang begini
keadaannya” . Na’udzubillah –lagi.
Perhatikan shaf di musholla kita,
amati berdirinya jemaah kita di masjid. Rapatkah ia, sempurnakah kita
mendirikan sholat berjamaah? Tidak. kenapa? Karena prsayarat sempurnanya sholat
berjamaah tak kita penuhi : rapat dan lurusnya shaf.
Ironis. Bahkan ketika sholat berjamaah-pun,
kita gagal “berjamaah”. Kita tak rapat, karena batas sajadah.
Kita mengira
batas sajadah adalah batas formal berdirinya sholat. Banyak yang tertipu dengan
hiasan lantai itu. Mengira agar lebih rapi, setiap orang “harus” berdiri di
sejadahnya masing-masing dan diperbolehkan tidak merapatkan barisan sholat.
Maka wajarlah shaf kita tak lurus. Wajarlah, di luar masjid, di luar musholla
kita hidup nafsi-nafsi, sendiri-sendiri, indivudualistis. Sholat hanya
kewajiban ritual, alih-alih dijadikan sumber kearifan spiritual dan wahana
menimba hikmah.
Mengira batas negara, kesukuan,
provinsi dan perbedaaan batas kampung merupakan fakta sah bagi kita untuk tidak
peduli dan tidak perlu merasa bersama. Maka wajar jika demam berdarah masih
menghantui, wajar saya hanya bisa merinding khawatir di rumah, mungkin karena
kita (saya) tak ambil pusing dengan selokan mampet di ujung jalan.
Solusi berbagai masalah dan
ketak-baikan di masyarakat dan dunia kita ini, bisa kita dapatkan jika kita mau
memulai untuk peduli. Mari, kita Menguras-Menutup-Mengubur karakter cuek sosial
ini.
Together, we can make it better. RIGHT?
Salam SuksesMulia
Berkenan ngobrol dengan @sulfan di Twitter?
Terimakasih
Right masbro....weldone.
BalasHapusKalau di Bengkalis atau tempat lain yang banyak sarang burung walet, DB menjadi hal yang lumrah, karena di dalam gedung2 sarang walet yg gelap gulita tersebut, terdapat kolam genangan air